Di sebuah peron kecil di tengah kota, dua jiwa yang
sama-sama terluka bertemu dalam sunyi. Arya, seorang akuntan yang memilih
fotografi demi merdeka dari dunia korporat yang meretakkan integritasnya.
Renia, perempuan Baduy Luar yang hidup dalam adat ketat, diam-diam menulis sastra
dengan nama pena Pohon Teduh—nama yang hanya diketahui langit dan bambu
rumahnya.
Pertemuan mereka singkat, hanya selendang biru,
selembar kartu nama, dan satu kalimat yang menggema hingga jauh: "Kadang,
yang paling kita takutkan bukanlah gelapnya malam, tapi bayangan diri sendiri
yang terlalu lama tersembunyi dalam sunyi."
Waktu memisahkan, adat membatasi, rindu menyiksa.
Arya harus ke Berlin, Renia terikat perjodohan. Namun kata-kata dan kenangan terus
hidup, menunggu satu pertemuan yang mungkin tak pernah benar-benar
terjadi—kecuali dalam novel ketujuh Renia, Bayang-Bayang yang Tak Pulang,
yang akhirnya membuka jati dirinya sebagai Pohon Teduh.
Syair Sunyi di Ujung
Peron adalah roman puitis tentang cinta yang tak
sempat diucapkan, tentang batas antara pergi dan tinggal, tentang suara-suara
yang hanya bisa didengar dalam sunyi. Sebuah kisah yang mengendap dalam hati,
seperti hujan yang turun diam-diam di peron tempat segalanya bermula.